Salah satu topik
yang dibahas oleh Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul ‘Kebudayaan
Jawa’ adalah tentang Bahasa Orang Jawa. Beberapa poin yang disampaikan
Koentjaraningrat dalam bagian ini mengenai bahasa orang Jawa yang masih relevan
bagi sebagian masyarakat Jawa. Akan tetapi, dari tulisaan ini sedikitnya ada
beberapa poin mengenai bahasa orang Jawa yang tidak sesuai dengan konteks
kekinian masyarakat Jawa. Sebagai pembanding, di sini saya akan mengkaitkan apa
yang disampaikan Koentjaraningrat ini dengan kondisi yang terjadi pada
masyarakat Jawa di Dusun Babadan Baru, kecamatan Depok, Kabupaten Sleman
Yogyakarta.
Sekitar 90% Masyarakat Babadan Baru merupakan
orang Jawa asli yang mempunyai sejarah panjang hingga mengantarkannya ke
wilayah Babadan Baru yang sekarang ini di Barat Jalan Kaliurang km 7.
Masyarakat Babadan Baru adalah masyarakat yang berpindah dari Babadan lama di
Gedong Kuning dikarenakan akan
digunakan sebagai gudang peluru dari penjajah Jepang. Babadan lama merupakan salah satu ‘pathok negoro’ dari Keraton
Mataram. Pathok negoro lainnya terdapat di Ploso Kuning, Mlangi, Wonokromo,
Dongkelan. Pathok negoro adalah daerah yang dipercaya oleh Keraton sebagai daerah
yang digunakan untuk syiar agama Islam. Sebagian besar masyarakat Babadan lama memiliki
hubungan kedekatan dengan Keraton karena masyarakatnya mengabdi kepada Keraton
sebagai kaum dan abdi dalem. Dalam percakapan sehari-hari pada masa itu
menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan tingkat penggunaan. Sistem ini menyangkut
perbedaan-perbedaan yang wajib digunakan, mengingat perbedaan kedudukan,
pangkat, umur, serta tingkat keakraban antara yang menyapa dan disapa. Perkembangan
penggunaan bahasa Jawa kini di Babadan baru tidak lepas dari sejarahnya ketika
di Babadan lama. Semakin berkembangnya zaman akibat faktor lingkungan,
penggunaannya kini semakin pudar.
Poin pertama, Koentjaraningrat menuliskan bahwa
Bahasa Jawa masa kini, adalah bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari
dalam masyarakat orang Jawa dan dalam buku-buku serta surat-surat kabar
berbahasa Jawa. (halaman 18, poin ke 6). Hal ini tidak sesuai dengan kondisi di
Babadan Baru. Buku-buku dan surat-surat kabar yang biasa dibaca oleh masyarakat
Babadan Baru, semuanya menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa yang dipakai dalam
percakapan sehari-hari dalam 3 generasi memiliki gaya bahasanya masing-masing.
Pada generasi orang tua (diatas 40 tahun) masih menggunakan bahasa Jawa sesuai
dengan tingkatan dasar (ngoko, madya, krami) yang harus digunakan. Bahasa Jawa
ngoko ketika percakapan sehari-hari dengan orang usia sepantaran, anak ataupun
orang yang lebih muda dan sudah dikenal secara akrab. Madya digunakan ketika
percakapan dengan orang yang lebih tua umurnya namun jarak umurnya tidak
terlalu jauh atau digunakan untuk percakapan dengan orang yang baru dikenal
namun usianya sebaya. Sedangkan krami di gunakan untuk percakapan dengan orang
yang lebih tua ‘sepuh’ umurnya ataupun kedudukannya. Pada generasi anak
(sekitar umur 15-40 tahun), mereka masih menggunakan bahasa Jawa dalam
percakapan sehari-hari. Namun sudah tidak menggunakan tingkatan bahasa yag
baku, bahasa Jawa yang digunakan umumnya ngoko ataupun campuran (ngoko-madya
atau ngoko-krami). Kebanyakan masyarakat Babadan baru ketika berkomunikasi
dengan orang sebaya menggunakan bahasa ngoko. Bahasa krami lebih sering
digunakan untuk percakapan dengan orang yang lebih tua namun tidak terlalu
akrab ataupun orang baru, namun sring disipi bahasa madya atau ngoko. Penggunaan
bahasa Jawa madya sering digunakan saat berkomunikasi dengan orang tua, sering
juga disiipi dengan bahasa ngoko sehingga menjadi bahasa campuran (ngoko dan
madaya). Banyak keluarga di babadan baru menggunakan bahasa ngoko ketika berkomunikasi
dengan orang tua, bahkan tidak segan lagi menyebut orang tua dengan sebutan
‘kowe’. Ketidak tahuan dan minimnya pengetahuan bahasa Jawa, membuat semuanya
menjadi salah kaprah. Berbeda dengan generasi ke 3 yang tergolong cucu (dibawah
15 tahun) lebih banyak menggunakan bahasa campuran, antara bahasa Jawa Ngoko
dan bahasa Indonesia. Percakapan sehari-hari di keluarga, pertemanan maupun di
lingkungan masyarakat sering menggunakan kedua bahasa tersebut, namun porsi
penggunaan bahasa Indonesia lebih sering.
Poin kedua, dituliskan oleh Koentjaraningrat bahwa
orang Jawa sekarang menggunakan huruf Latin, dan kebanyakat tulisan dalam bahasa
Jawa sekarang memang diterbitkan dengan menggunakan huruf Latin, walaupun ada
juga buku-buku dan beberapa majalah serta surat kabar yang masih terbit dalam
huruf Jawa (halaman 20, paragraf 3). Memang benar semua orang Jawa sekarang
menggunakan huruf Latin spada massa sekarang, termasuk masyarakat babadan Baru.
Namun huruf Latin yang dituliskan dengan menggunakan bahasa Indonesia, bukan
bahasa Jawa yang ditulis Latin. Karena pada ummnya sekarang buku dan surat
kabar diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Kalaupun ada, buku yang diterbitkan dalam bahasa Jawa
adalah buku paket pelajaran bahasa Jawa yang digunakan di sekolah-sekolah atau
majalah khusus berbahasa Jawa ‘Joko Lodhang’ yang populer di kalangan warga Babadan
Baru, Walaupun populer karena satu-satunya majalah berbahasa Jawa yang masih
mudah ditemukan, namun majalah itu sangat jarang dikonsumsi untuk dibaca.
Poin ketiga, menanggapi pernyataan Koentjaraningrat
tentang bahasa Jawa yang dipergunakan sebagai bahasa pergaulan abad ke-20,
ditandai oleh suatu sistem tingkat-tingkat yang rumit, terdiri paling sedikit
dari Sembilan gaya bahasa (halaman 21, paragraf 2). Hal ini sudah tidak relevan
lagi dengan kondisi sekarang, bagi sebagian besar masyarakat Babadan Baru sudah
tidak mengenal tingkat-tingkat yang rumit dari Sembilan gaya bahasa tersebut,
sehingga sudah tidak digunakan pada generasi sekarang. Faktor lingkungan yang
heterogen disekitar Babadan Baru dan adanya pendatang membuat masyarakat
meninggalkan tingkatan tersebut untuk kepraktisan berkomunikasi. Gaya bahasa
yang ada di babadan Baru sekarang ini hanya tinggal 3 gaya bahasa dasar yaitu:
ngoko, madya, krami. Penggunaanya pun sudah tidak sesuai pakem yang ada dan
sudah bercampur antara gaya bahasa yang satu dengan yang lain.
Poin keempat, pendapat Koentjaraningrat tentang adat
sopan santun Jawa yang menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat, tergantung
dari tipe interaksi tertentu, memaksa orang untuk terlebih dahulu menentukan
setepat mungkin kedudukan orang yang diajak berbicara dalam hubungan dengan
kedudukannya sendiri. Pendapat ini sedikit tidak relevan, walaupun memang masih
ada yang menjalankan namun sebagian besar sudah melupakan penggunaan gaya
bahasa ini terutama kalangan generasi muda. Peraturan ini sudah semakin lunak
bagi masyarakat Babadan Baru ketika generasi muda terkadang menggunakan bahasa
campuran (krami-ngoko ataupun madya-ngoko) kepada orang yang lebih tua bahkan
menggunakan gaya bahasa ngoko dalam percakapan dengan orang tua sehari-hari.
Orang tua sudah semakin lunak akan aturan ini, tidak meluruskan namun tetap
dibiarkan bercampur dan salah kaprah dalam menggunakan gaya bahasa krami maupun
madya.
Poin kelima, pernyataan yang disampaikan
Koentjaraningrat bahwa Logat Solo-Yogya juga dianggap sebagai “bahasa Jawa yang
beradab”. Anggapan ini dipatahkan dengan fenomena saat ini. Bagi masyarakat
Babadan Baru yang sering berinteraksi dengan orang dari berbagai daerah, logat
bahasa Jawa yang kental atau lebih sering disebut ‘medhok’ menjadi ejekan bagi
orang lain. Terkadang penggunaan bahasa Jawa di ruang publik sangat jarang
digunakan oleh masyarakat Babadan terutama di kalangan generasi muda karena
akan dianggap ‘ndeso’ bagi kalangan tertentu.
Kesimpulan
Penggunaan bahasa Jawa di masyarakat Jawa sudah
semakin luntur. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan, adanya pendatang dan
penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang digunakan sebagai
bahasa resmi sehari-hari dalam aktifitas sekolah maupun perkantoran. Hal
tersebut semakin mengurangi penggunaan bahasa Jawa untuk percakapan
sehari-hari. Anggapan-anggapan medhok, ndeso, ketinggalan zaman membuat bahasa
Jawa semakin ditinggalkan oleh generasi muda dan tergantikan oleh bahasa
Indonesia. Faktor lingkungan dan peran media yang selalu menggunakan bahasa
Indonesia, menjadikan bahasa Jawa semakin luntur dan ditinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar